Senin, 25 Agustus 2014

Bersauh

“Jadi, apa pedulimu dengan tempat ini, Nak?” tangannya gemetar memegang pagar besi setinggi perut di depannya. Matanya layu. Kutebak mata itu sebentar itu akan menutup. Tetapi, jelas terlihat nasionalisme, patriotisme, bahkan sedikit chauvinisme di sana. Kulitnya keriput di sana-sini. Bahkan retak, secara harfiah. “Ditempa zaman, Nak. Orang-orang berkulit sepertiku lah yang sejatinya memiliki kecintaan paling besar kepada negeri.” Itu kata dia saat aku bertanya tentang kulitnya –yang retak– lima tahun yang lalu. Ketika aku baru menapakkan kaki di tanah ini. Tanah tanpa harapan.

Titik-titik air mulai turun. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes mulai membahasi tanganku. Lengket.

“Janganlah kau terlalu sering terkena air hujan itu, Nak.” Kakek tua itu menunjuk kulit tangannya yang retak.

Oh, jadi itulah yang membuat kulitnya retak.

“Sesekali tak apa lah, Kek. Aku suka hujan.” aku membalas sambil melihat ke langit yang mendung. Menengadahkan tangan untuk merasakan rezeki dari Tuhan. Walaupun sudah dirusak.

“Kandungan sulfur di dalamnya sudah berlebihan. Kau tahu, aku hanya butuh terkena hujan ini sebanyak delapan kali untuk mendapatkan retakan ini.” Si Kakek kembali menunjukkan retakan di tangannya.

“Dulu tanganku tak kasar. Halus. Berotot. Maskulin. Aku dulu seorang…”

“Penjelajah. Ini kedelapan kalinya kau bercerita seperti itu, Kek.” aku tertawa.

“Kau menghitung?” Kakek itu ikut tertawa.

“Semua perkataan Kakek yang diulang, aku hitung.”

“Kek, kenapa namamu Dasa? Kau sudah menceritakan semua hal kecuali hal ini. Apakah namanya terlalu keren untuk diceritakan?” aku menepuk pundaknya. Bercanda.

“Dasar, anak muda sekarang punya kadar sarkasme yang sangat tinggi. Namaku berubah-ubah setiap satu dasawarsa, Nak. Dulu, ketika umurku menjelang tujuh puluh tahun, namaku Sapta. Ketika umurku beranjak ke delapan puluh tahun, namaku okta. Ketika umurku menjelang sembilan puluh tahun, namaku Nona. Aku sering dihina pada sepuluh tahun itu. Jelas, namaku seperti nama seorang wanita yang sangat feminim. Tapi, itu prinsipku. Namaku berubah-ubah untuk mengingat umur, Nak. Selama apa pun kau berpijak di tanah, pada akhirnya kau akan menyatu dengannya. Sekarang, umurku sudah sembilan puluh sembilan tahun. Oleh karena itu namaku Dasa. Artinya sepuluh. Dan besok aku berulang tahun yang keseratus! Entah nama apa yang aku pakai untuk besok lusa di usiaku yang sudah lebih dari seratus.” Dasa kembali tertawa.

“I’m ninety nine for a momment. Dying for just another momment and I’m… ah aku lupa lanjutan lagunya. Dulu itu lagu kesukaanku. Five for Fighting, 100 Years. Selalu mengingatkanku pada umur. Tubuhku sudah rusak, Nak. Bahkan, aku bisa berkata bahwa seluruh organ tubuhku sudah memilki penyakit. Tak terhitung berapa kali aku harus, seharusnya, minum obat dalam satu hari. Tapi, aku sadar, boy, pada akhirnya kita akan mati, bukan? Untuk apa obat-obat itu?”

“Hei, Nak. Kau tahu cita-citaku? Mati pada umurku yang keseratus. Berarti itu besok! Tapi, entahlah. Dengan kondisi tubuhku yang sepertinya masih kuat menopang segala jenis penyakit. Kupikir, aku akan mati di umurku yang keseratus lima. Maksimal keseratus tujuh.”

Dasa terkenal suka bercerita kemana-mana kalau sudah ditanya soal hidupnya. Entahlah, mungkin sudah terlalu banyak pengalaman dan cita-cita yang ditimbun, membengkak dalam otaknya. Jadi, mungkin dia harus membagikan pengalaman dan cita-cita itu kepada orang lain sebelum mereka meledakkan otaknya sendiri.

“Berarti kau lahir ketika Krisis Moneter melanda Indonesia. Krisis ekonomi untuk pertama kalinya ya, Kek?”

“Ah! Iya, iya! Krisis Moneter! Itu bukan krisis ekonomi pertama untuk Indonesia, Nak. Krisis ekonomi pertama terjadi ketika awal Indonesia merdeka. Ketika yang peduli pada bangsa masih bisa ditemukan di seluruh pojok negeri. Krisis ekonomi itu terjadi karena Indonesia tidak bisa membuat dua fokus antara kesejahteraan ekonomi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”

Ah, aku lupa. Dasa bahkan akan semakin berisik kalau sudah berbicara tentang negara ini.

“Negara ini mulai korup, mulai rusak, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Nak. Dulu nama-nama seperti Gayus Tambunan, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Andi Mallarangeng, Si Menteri Pemuda danOlahraga, bahkan Akil Mochtar, seorang Ketua MK! Proyek-proyek seperti pusat olahraga Hambalang, wisma atlet SEA Games ke-26, lalu peng-import-an daging sapi, bahkan kitab suci dijadikan celah untuk korupsi! Dari situlah, Nak, dari para penjahat-penjahat itulah, muncul benih-benih baru yang mematikan. Muhammad Nur Zulfiqar, Presiden ke-9 kita. ‘Si Pembunuh’. Kukira tidak ada yang bisa lebih korup daripada dia, Nak. Lima puluh persen, bayangkan! Lima puluh persen dana APBN raib olehnya!”

Aku hanya mendengarkan ceramah Dasa dengan khidmat. Hujan turun makin deras. Badanku terasa semakin lengket.

“Ardi. Namamu Ardi, bukan? Kau tahu, Ardi, kukira negara ini sudah tidak bisa lebih hancur setelah kasus ‘Si Pembunuh’ itu, Nak. Ternyata, setelah puluhan tahun merantau kesana sini, setelah tanah kelahiranku dibeli untuk dijadikan pabrik-pabrik besar, yang menyebabkan hujan mematikan ini, aku sadar bahwa inti permasalahan ini bukanlah para penguasa-penguasa korup itu. Inti hancurnya negara ini karena sudah terlalu banyak orang yang apatis, Nak. Orang-orang inilah yang membawa

Muka Dasa merah padam. Murka dengan orang-orang yang disebutkan dalam ceramahnya. Termasuk kepada semua orang yang apatis terhadap nasib bangsa. Ini pertama kalinya aku melihat Dasa sangat bergejolak ketika berbicara tentang negeri ini.

Entah kenapa, aku jadi sedikit khawatir dengan kesehatannya.

“Globalisasi membawa degradasi moralitas kepada Indonesia. Beginilah jadinya negeri ini. Seluruh aspek kehidupan mengalami keruntuhan. Jaminan kesehatan untuk rakyat tidak mampu dicuri, lahan kosong, sawah, kebun, hutan, bahkan pedesaan di pelosok dijadikan tempat bisnis bagi orang-orang korup, orang-orang serakah. Karena itulah bencana kelaparan melanda negeri ini, khususnya bagi orang-orang yang tidak bisa membeli makanan. Seluruh aspek kehidupan bagi orang-orang miskin tak bisa dipenuhi.”

Tiba-tiba Dasa berhenti berbicara.

“TAPI KENAPA JADI KITA YANG DISALAHKAN?! Kitalah yang sekarang dipenjara dalam kota ini! Kota yang didesain pemerintah untuk menampung orang-orang tak mampu, berpenyakit, kumuh, miskin, ‘tak layak hidup’! Sejak Muhammad Nur Zulfiqar diturunkan, bencana penyakit terbesar dalam sejarah Indonesia menyerang. Apakah kau sudah lahir waktu itu, Nak? SARS, HIV, flu burung, semua penyakit yang sudah pernah menjadi bencana untuk negeri ini kembali menyerang dalam jumlah yang tidak terkira. Bersamaan pula! Orang-orang miskin yang tak memiliki uang untuk melakukan pengobatan, digiring menuju sebuah kota, bahkan bisa kubilang negara kecil yang dikelilingi tembok tinggi – yang membutuhkan dana triliunan rupiah, melewati empat masa jabatan presiden, dibuat untuk mencegah penyakit yang kita bawa tidak menyebar kemana-mana. Aku sangat ingat hari itu, Nak.”

“Aku bersama jutaan orang lainnya digiring seperti hewan ternak ke dalam sini. Anak kecil, remaja sepertimu, orang-orang paruh baya, hingga orang yang sudah tidak kuat untuk mengangkat kakinya, kalau sudah terjangkit penyakit dan tak bisa bayar pengobatan, digiring ke sini. Ini namanya genosida untuk orang-orang tak mampu! Aku masih ingat kata-kata Almira Maulana, Presiden kesepuluh kita, Si Lugu, Si Bodoh. ‘Mereka sudah tidak memiliki harapan. Kami berusaha melakukan tindakan yang paling benar.’ katanya. Negeri ini lah yang tidak memiliki harapan!”

“Mungkin kalau ada novel berjudul Indonesia Aftermath yang menceritakan kondisi Indonesia sekarang, di titik klimaks kehancurannya, novel itu akan menjadi novel ber-genre distopia terbaik di dunia, bahkan melangkahi Brave New World karangan Aldous Huxley.”

“Aku tidak tahu pengetahuanmu begitu luas, Kek.” aku menepuk pelipis, kagum.

“Kau pasti tidak percaya kalau aku dulu tidak lulus SD. Pengalaman adalah guru terbaik, Nak. Aku sudah pernah mengunjungi seluruh sudut negeri ini. Bahkan, tanah tak terjamah di kawasan Papua pun sudah aku taklukan, Ardi.” sekarang Dasa yang menepuk pundakku.

Tiba-tiba muka Dasa terlihat sangat berat, matanya berkaca-kaca. Dasa memang orang yang emosional. Namun, lima tahun aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya seemosional ini.

“Kalau saja dahulu banyak anak muda sepertimu. Peduli dengan bangsa, bukan begitu?” Dasa menatapku dengan penuh harap agar aku menjawab seperti apa yang dia inginkan.

“Kalau aku tidak cinta pada negeri ini, aku tidak mungkin bersauh ke dalam tembok tinggi ini.” aku berusaha menjawab dengan apa yang sepertinya Dasa harapkan. Namun, tidak pula terlepas dengan fakta.

“Kau seorang novelis sukses di luar sana, bukan?”

“Jurnalis, Kek. Bukan novelis.” Aku tertawa.

“Ah! Pemburu berita! Sangat banyak berita yang bisa kau buru di dalam tembok ini, Nak. Bukan berita bahagia tentunya.” Dasa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kembali tertawa. Namun, aku melihat air keluar dari matanya. Dasa cepat-cepat mengusapnya.

“Kau sudah pernah berkata seperti itu ketika kita pertama kali bertemu, Kek.” Aku ikut tertawa kembali.

“Sama seperti Kakek, aku juga sudah muak dengan semua hal di luar tembok ini. Ketika orang-orang di luar sana menganggap bahwa di dalam tembok ini lah yang mereka sebut dengan distopia, justru menurutku, di luar sanalah yang seharusnya disebut distopia. Negeri yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Lima tahun ada di dalam sini, kabur dari kehidupan mewah di luar sana, aku tidak pernah melihat satu pun kejahatan di sini. Mungkin satu, ketika Si Jabrig mencoba mencuri sendal jepitku.”

Kita berdua kembali tertawa. Sangat menyenangkan ketika melihat Dasa tertawa.

“Aku justru menemukan kedamaian di dalam tembok ini, Kek.”

“Walaupun kumuh dan bau?”

“Walaupun kumuh dan bau. Itu jawaban untuk pertanyaan kakek di awal pembicaraan.”

“Kau naif, Nak. Di sini tidak ada kejahatan karena taraf kehidupan semua orang sama saja! Siapa yang mau mencuri barang orang yang sama miskinnya dengan dia?” tawa Dasa makin keras.

Tiba-tiba dia memberikan senyuman, bukan senyuman biasa, senyuman penuh harapan kepadaku.

“Ardi, orang-orang sepertimu adalah orang-orang yang diharapakan bangsa. Orang-orang yang diharapkan dapat membawa kembali ‘kedamaian’ yang kau bicarakan tadi ke seluruh pelosok negeri.”

“Mengubah distopia ini menjadi utopia.” Mata layunya berbinar, tangannya menggenggam erat tanganku, walaupun gemetaran.

Bruk.

“Kakek!”

Keesokan harinya, tanggal 1 Januari 2098, tepat ketika umurnya seratus tahun, Dasa meninggal karena kompilasi penyakit yang dideritanya. Mimpinya tercapai. Meninggal tepat di umurnya yang keseratus. Namun, rasa cintanya terhadap negeri ini abadi. Mekar bersama dengan rasa cinta jutaan orang lain yang masih memegang harapan kepada negara ini.

Di dalam sebuah distopia, pahlawan bukanlah seseorang yang mengangakat senjata melawan penjajah. Bukan seseorang yang mendapat jabatan; bintang satu, dua, tiga, empat, lima, atau bintang apa pun itu. Bukan pula orang-orang yang berteriak di depan orang banyak, berbicara tentang moral.

Di dalam sebuah distopia, pahlawan adalah seseorang yang masih peduli untuk berbagi. Walaupun hanya sekedar berbagi pengalaman

Cerpen Karangan: Finlan Adhitya Aldan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar