Senin, 25 Agustus 2014

Untuk Bu Dian

Hidup itu memang Luar Biasa. Segala peristiwa yang bahkan tak pernah aku bayangkan terjadi. Aku pernah membaca salah satu buku motivasi yang berjudul “The Secret” dalam buku itu dituliskan, bila kita ingin meraih Impian kita, maka kita harus memikirkannya dan menjadikannya fokus hidup kita. Pikiran positif akan menarik hal yang positif, begitulah prinsip yang selalu aku pegang teguh. Dan semua terasa seperti keajaiban dan menjadi nyata. Apa yang hanya ada dalam benakku, kini menjadi kenyataan yang tersaji tepat di depan pandangan ku. Contoh nyatanya, seperti yang terjadi padaku di hari ini.

Hari ini, aku akan mengikuti Lomba Pidato bahasa jawa. Memang aku tidak terlalu fasih dalam bahasa jawa, modal ku hanyalah tampil percaya diri dan semangat. Pagi hari ku awali dengan semangat. Lokasi lomba dengan rumahku tak begitu jauh, jadi aku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Entah kenapa, kali ini langkahku serasa sangat ringan, seperti gak ada beban, padahal aku mau lomba, Lomba dimulai jam 8 pagi, begitu sampai tempat, eh kok malah sepi. “Guruku mana ya?” tanya ku kebingungan. Aku malah jalan-jalan sendiri kayak orang hilang. Ya, sudah aku masuk saja sendiri, sampai di dalam aku masih kebingungan. Eh… Akhirnya ketemu juga, aku ketemu Bu Dian guru pendampingku. Bu Dian bilang ke aku, kalau Lomba Pidato langsung daftar ulang ke lantai 2. Tapi Bu Dian gak bisa nemenin aku, soalnya Bu Dian panitia lomba. Hahhh, kalau aku sih maklum aja, Bu Dian kan orang sibuk. Ya, sudah lomba sendiri aja.

Aku langsung berlari, menaiki tangga menuju lantai 2. Aku daftar ulang, mengambil nomor undian. Ehhh, dapet nomor 6. Ya sudah, lebih cepat maju, lebih baik. Kalau di lingkungan baru, diem aja kan ndak enak. Mending aku ngajak kenalan sama peserta yang lain. Disana aku dapat 3 teman baru. Ada Mbak Tabita dari SMA N 6 Surakarta, Mbak Laras dari SMA Smart Informatika, Mbak Eka dari SMK N 3 Surakarta.

Sebelum maju lomba pidato, seluruh peserta diminta untuk menulis pidato terlebih dahulu. Aku pun mengikuti aturan, menulis pidatoku terlebih dahulu. Waktu yang diberikan pihak panitia hanya 45 menit. “Waduh, cepet banget” ujarku dalam hati. Aku pun menulis dengan serius dan berusaha bisa secepat kilat. “Uhhh, tulisanku jelek banget” Ujarku sambil berguman. Yang penting nanti praktek waktu maju, itu saja yang aku pegang. Aku pengen banget waktu maju nanti, ada Bu Dian yang mendampingiku. Tapi, yang kuharapkan tak kunjung datang juga. Saat peserta ke 5 maju ke depan, aku telah mempersiapkan diriku untuk maju. Menenangkan diri supaya gak grogi. Keajaiban pun terjadi, Bu Dian datang dan memberi aku semangat. Bu Dian memberi aku motivasi, bahkan aku merasakan rasa sayang Bu Dian ke aku. Kini aku sudah lega dan siap untuk maju ke depan.

Aku maju dengan PeDe, semangat, dan tak lupa ciri khas aktif ku yang unik. Aku maju ke depan, dan merasa sangat menikmati waktu pidato ku. Yang jelas aku puas dengan apa yang telah aku lakukan. Bu Dian juga terlihat lega dengan penampilan ku. Aku berharap semoga hasil yang terbaik, bisa ku persembahkan untuk Bu Dian. Total ada 26 peserta. Cukup banyak rivalku. Mulai dari SMA N 1, SMA N 4, SMA N 5, SMA N 6, SMK N 3, SMA Al Islam, pokoknya banyak deh. Yang jelas SMA N 2 gak akan kalah. Tekad ku ingin membawa harum SMADA tercinta.

Setelah semua peserta maju, akhirnya dewan juri berunding dahulu untuk menentukan pemenang. Nunggunya lama banget. Hampir sejam penuh aku menunggu. Ahhh… Mungkin jurinya galau, bingung siapa yang pantas jadi juara. Sekarang ini, yang ada di benakku hanyalah, aku sudah melakukan yang terbaik, dan apapun hasilnya itulah yang terbaik bagiku, dan yang penting bukan kemenangan tetapi pengalaman berharga yang telah kudapat. Tapi, kalau gak menang, itu berarti aku mengecewakan Bu Dian? Aku gak pengen ngecewain Bu Dian. Hahhh… Kok malah yang bingung aku. Malah jadi gak fokus. Tapi aku punya target, di lomba kali ini, aku ingin menjadi juara 3. Memang aku belum berani menargetkan juara 1, tapi bagiku juara 3 sudah cukup untuk membuat Bu Dian tersenyum.

Saat yang kutunggu akhirnya tiba. Pengumuman pemenang. Deg… Deg… Deg… Hah aku malah deg-degan, santai aja kaleee. Tapi terlanjur galau jadi gak bisa santai. Betapa kagetnya diriku, ketika aku dipanggil menjadi juara 3. Hahhh? Yang bener, aku aja gak percaya. Apa yang aku pikirkan tersaji di depan mata. Yeeaaahhh, apapun itu tapi aku bisa meraih target. Selamat Tika, ucapku pada diri sendiri.

Aku langsung berlari ke luar dari ruangan. Aku cari Bu Dian, tapi kok gak ketemu, kemana Bu Dian? Kebetulan aku lewat ruang panitia, kulihat Bu Dian ada di ruang panitia. Aku memberi kode kepada Bu Dian, bahwa aku meraih juara 3. Bu Dian tersenyum kepadaku, lega rasanya bisa melihat Bu Dian tersenyum. Seyuman Bu Dian terasa sangat manis di hati, rasanya jadi damai, tenang, tentram, pokoknya adem deh. Bu Dian makasih, Bu Dian sudah membimbing aku selama ini, aku tau mungkin juara 3 tak terlalu membuat Bu Dian bahagia, tapi setidaknya hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan Bu Dian. Aku Sayang Bu Dian.

Cerpen Karangan: Pratika Rizki Dewi

Kepergian Seorang Teman

Mentari telah bersinar terik. Sang burung pun hilir mudik berterbangan. Jalan raya padat tak bersela, itulah pemandangan yang selalu kulihat ketika aku berangkat sekolah. Kenalin gue zenita putri azzahra, gue sekolah di SMA HARAPAN BANGSA kelas XI IPA.

Waktu itu gue lagi pelajaran tapi salah satu temen gue gak ada. Dan gue baru sadar kalo dia gak ada pas gue istirahat. Biasanya gue ngobrol sama dia, tapi ini kerasa ganjil dan beda banget. Gue gak tau kenapa dia gak berangkat mungkin dia sakit, atau lagi lomba karena yang gue tau dia itu atlet sepakbola putri.

Besoknya gue berangkat ke sekolah, tapi temen gue yang satu itu belum juga masuk. Dan kabar yang gue denger dia keluar dari sekolah. awalnya gue gak percaya tapi besoknya gue percaya. karena waktu itu, pada jam pelajaran bahasa inggris. gue izin ke kamar mandi sama temen gue namanya bella. gue lihat di depan deket ruang pembayaran ada orang yang gak asing lagi buat gue. Yak dia orang yang selama ini gue cari namanya raquel, dia sama ibunya mau ngurus surat kepindahan. Gue samperin lah dan kita sempet ngobbrol. “raquel, lu kenapa beberapa hari ini gak masuk?. gue kangen banget tau sama lu.” Tanya gue
“iya sorry nit gue mau pindah.”
“loh… loh.. lohh?.. udah dipikir mateng-mateng itu.”
“iya gue juga udah yakin mau pindah”
“ya udah deh terserah lu.” Ucap gue pasrah
“sorry ya.”
“iya gak papa.” Udah gitu gue balik ke kelas sama bella dan gue ngebilangin ke temen deketnya dia dan ke ade sepupunya dia namanya aurel. Mereka pun izin untuk ke kamar mandi dan menemui raquel.

1, 2, 3, 4, 5 menit, mereka balik ke kelas. tapi gak dengan aurel, dia nangis dan dia gak mau masuk kelas kalau raquel gak masuk. Akhirnya guru yang mengajar mengizinkan raquel masuk ke dalam kelas sekalian untuk perpisahan.

Kelas pun hening tak ada suara terdengar hanya isakan tangis memenuhi ruangan dia berbicara di depan kelas “temen-temen gue mau pamit besok gue udah gak bisa bareng kalian lagi gue bakalan pindah sekolah” Kelas pun semakin tak terkendali isakan tangis semakin terdengar apalagi ketika pak guru menyuruh raquel untuk menyalami kita satu per satu. Raquel pun sama dengan gue dan kawan-kawan, dia juga gak bisa ngendaliin air matanya untuk gak turun dari pelupuk matanya.

Setelah raquel pergi semua belum terkendali normal, keadaan masih penuh tangis dan air mata. Terutama aurel dan laura mereka adalah temen deketnya raquel banyak kenangan yang mereka lalui bersama. dari sedih, senang, susah, duka mereka lewati bersama, hingga akhirnya laura meminta izin untuk ke kamar mandi diikuti dengan raisa, renia dan bella.

Di kamar mandi laura menjadi-jadi dia terus menghantam tembok hingga tangannya berdarah. Semua mencoba mengendalikannya dan akhirnya dia berhasil dibawa masuk ke dalam kelas.

Gue sadar, perpisahan mungkin terjadi. tapi janganlah terlalu lama menangis dengan perpisahan. percayalah kita akan bertemu kembali di suatu saat nanti. dan akan tertawa dan tersenyum dalam jangka waktu yang cukup lama.

Cerpen Karangan: Diana

The Adventure Princess Sofia

Pada suatu hari, di kerajaan Crystal Palace hiduplah seorang putri bernama Sofia, ibunya bernama Miranda dan ayah nya bernama Vernando. Sofia adalah putri tunggal, Sofia tinggal di castle bersama kedua orangtuanya dan Sofia bersekolah di Gardenia Palace. Sofia duduk sebangku di kelasnya bersama Lacey. Sofia merasa senang bersekolah di Gardenia Palace.

Sehabis pulang, sekolah Sofia datang ke rumah Lacey untuk bermain. Pada keesokan harinya, Sofia kembali berangkat ke sekolah, sesampainya di sekolah, Sofia mendengar kabar bahwa, besok akan diadakan lomba mewarnai, dengan juara satu Memenangkan piala, juara dua mendapatkan trophy dan juara tiga mendapatkan piagam, mendengar itu semua, Sofia pun mengikutsertakan dirinya dalam lomba mewarnai tersebut.

Sesampainya di castle, Sofia pun langsung mempersiapkan alat-alat yang diperlukan untuk lomba besok, setelah selesai menyiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk lomba mewarnai, Sofia pun pergi ke rumah Lacey untuk berlatih mewarnai bersama-sama, setelah selesai berlatih, Sofia pun kembali ke castle dan beristirahat di dalam kamarnya.

Keesokan harinya Sofia diberikan nomor urut delapan pada perlombaan, setelah panitia mengatakan “mulai”, Sofia pun langsung mewarnai dengan sangat hati-hati, teliti dan juga rapi, Sofia pun selesai mewarnai, dan Sofia memberikannya pada panitia.

Setelah panitia merenungkan hasil perlombaan, panitia pun mengatakan bahwa juara tiga dimenangkan oleh Lisa dengan nomor urut dua, juara dua dimenangkan oleh Lacey dengan nomor urut lima, dan juara satu dirahi oleh Sofia dengan nomor urut delapan, Sofia pun merasa sangat senang, dan kedua orangtua Sofia pun bangga terhadap Sofia.

Tamat

Cerpen Karangan: Cecilia

Liliana Story

Liliana Roxel adalah gadis sederhana yang tinggal di tepi hutan. Umurnya kini sudah mulai menginjak 10 tahun. Liliana diurus oleh neneknya, Neneknya bercerita bahwa orangtua Liliana sudah meninggal. Tetapi beberapa bulan yang lalu, neneknya meninggal. Kini Liliana tinggal sendiri, tak ada lagi yang menemani hari-harinya.

Tetapi Liliana terus berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri. Liliana mencari makan ke dalam hutan sendirian, dan saat malam tiba ia harus cepat-cepat tidur karena keadaan akan gelap gulita. Ya, di rumah Liliana tidak ada listrik ataupun penerang lainnya. Sebenarnya Liliana sangat kesepian, tapi ia tetap tegar menjalani hari-harinya.

“Lalalala…” Liliana bernyanyi sambil mencari makanan di hutan. Liliana tidak pernah takut akan binatang-binatang buas yang suatu saat bisa memakannya. Liliana justru bersahabat dengan binatang-binatang yang ada di hutan. Bruk!… Tiba-tiba Liliana terjatuh karena tersandung suatu barang. Hmmm… barang apa ya itu?
“Aduh… aku menyandung apa ya, sampai terjatuh seperti ini?” kata Liliana sambil memegangi kakinya yang berdarah. Liliana pun menghadap ke belakang untuk melihat apa yang ia sandung tadi. Liliana melihat sebuah topi, topi itu mirip dengan topi pesulap. “Hmmm… hanya sebuah topi yang aku sandung tadi, tapi kok aku sampai terjatuh?” kata Liliana.

Liliana yang heran mulai menghampiri topi itu. Tiba-tiba topi itu bergerak sendiri! Ia melompat kesana-kemari seperti meghindar dari Liliana. Liliana pun mengejar topi itu, dan berkali-kali Liliana sampai terjatuh. “Hei tunggu!” kata Liliana yang mulai kelelahan. Topi itu terus meloncat, hingga sampai ke rumah Liliana.

Napas Liliana terengah-engah karena mengejar topi itu. Saat sampai di depan rumah Liliana, topi itu terdiam. Liliana pun dengan segera menghampiri topi itu. “Nguk… kak… kik… kuk? (Ini rumah kamu?)” kata topi itu. “Umm… ya betul, memang kenapa?” kata Liliana. Liliana yang sudah terbiasa dengan bahasa binatang, ia mengerti juga bahasa topi itu.

Tiba-tiba topi itu melompat sangat-sangat tinggi dan mengeluarkan banyak barang. Bluk!… ada sebuah kantong kecil jatuh ke tangan Liliana. “Topi, kantong ini untuk apa?” kata Liliana bertanya dengan sangat ramah. “Kak… kik… (Coba buka),” kata topi itu. Liliana pun membuka kantong itu dengan perlahan-lahan.

Di dalam kantong itu, ia menemukan sebuah buku kecil berwarna biru muda, dan juga terdapat sebuah pensil kecil. “Untuk apa buku dan pensil ini?” kata Liliana. “Kak… Kik… Kuk.. Kak! (Coba kamu tulis apa yang kamu ingin ketahui!)” kata topi itu. “Apa ya?” kata Liliana. Liliana pun berpikir sejenak.
“Aha! Aku tahu!” kata Liliana. Liliana pun mulai menulis di buku itu. Ya, Liliana diajari membaca dan menulis oleh neneknya. Nenek Liliana memang benar-benar sayang pada Liliana cucu satu-satunya itu. Liliana menulis: Apa sebabnya mama dan papa meninggal?. Tiba-tiba dari buku itu keluar tulisan: Orangtuamu tidak meninggal, nak.
“Apa?!” Liliana terkejut ketika melihat jawaban dari buku itu. Liliana pun kembali menulis: Apa buktinya?. Buktinya, lihat sendiri nanti, jawab buku itu. Tiba-tiba buku itu pun menghilang entah kemana. “Aduh! Apa maksud buku itu?” kata Liliana yang mulai tidak sabar. “Kak? (Liliana?)” kata topi. “Ya?” “Kak… kik… kuk! (Jalan-jalan ke hutan yuk!)” ajak si topi.
“Hmmm… Ayo!” kata Liliana.

Topi dan Liliana pun berjalan-jalan ke hutan, tapi mereka tidak sadar bahwa sebentar lagi adalah ujung hutan. Ngekk!… “Bunyi apa itu topi?” tanya Liliana. “Kuk? (Apa ya?)” jawab si topi. Liliana dan topi pun berjalan ke arah sumber suara yang sepertinya ada di ujung hutan.

Saat mereka tiba di ujung hutan, mereka melihat mesin-mesin besar berwarna kuning sedang meruntuhkan pohon-pohon. Mesin-mesin besar berwarna kuning itu adalah mesin yang biasa dipergunakan untuk membantu pekerjaan bangunan. Mesin-mesin itu dikendalikan oleh manusia. “Apa?! Hutanku!” kata Liliana.
Hutan adalah pusat makanan untuk Liliana, maka dari itu Liliana marah hutannya dirusak. Topi yang ketakutan tidak bisa berbicara apa-apa. Liliana yang marah menghampiri para manusia yang mengendalikan mesin-mesin itu. “Kalian! Berani-beraninya merusak hutanku!” kata Liliana dengan sangat galak.
“Apa maumu? Kami akan berikan,” kata seorang pria yang sepertinya sangat terhormat di antara yang lain. “Aku hanya menginginkan satu hal, jangan rusak hutanku!” kata Liliana bersikeras. “Memang kamu tinggal disini?” kata pria itu lagi dengan nada sedikit mengejek. “Ya!” jawab Liliana dengan tegas.
“Mana buktinya? Perlihatkan padaku!” kata pria itu lagi. “Baiklah! Ayo ikut aku!” kata Liliana. Semua pegawai-pegawai dan pria itu mengikuti Liliana hingga sampai ke ujung hutan tempat rumah Liliana berada. Setelah sampai di rumah Liliana, pria tadi langsung menundukan kepala. “Inilah rumahku,” kata Liliana.
“Nak, siapakah namamu?” kata pria yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, dan yang telah menantang Liliana untuk menunjukan rumahnya. “Namaku Liliana Roxel,” jawab Liliana. Pria itu terkaget ketika mendengar jawaban Liliana. Pria itu pun mulai mendekati Liliana.
“Nak, dahulu aku mempunyai anak yang namanya mirip sepertimu,” kata pria itu mencoba menjelaskan sesuatu pada Liliana. “Apa hubungannya denganku?” kata Liliana. “Ia juga tinggal di hutan ini, aku yakin itu adalah kamu,” jelas pria tadi. “Ah! Tidak mungkin! Nenekku bilang, orangtuaku sudah meninggal,” kata Liliana.
“Tidak, aku adalah papamu, dan mamamu sudah meninggal 1 bulan yang lalu,” jelas pria itu lagi. “Tidak mungkin! Kalau anda benar orangtuaku, kenapa anda membuang saya?” kata Liliana. “Kami tidak membuangmu, tapi nenekmu memaksa kami untuk menitipkan kamu padanya,” jelas pria itu.
“Benarkah?” kata Liliana. Pria itu mengangguk. Liliana pun memeluk pria itu. “Papa…” kata Liliana sambil menangis. Selama ini, Liliana belum pernah memeluk seorang papa. Ia hanya bisa membayangkannya saja. Semua menjadi terharu dan ikut menangis. Hari itu menjadi hari membahagiakan dalam hidupnya.

Ia pun ikut papanya pulang ke kota, dan memulai kehidupan baru disana. Bahkan, di kota Liliana menjadi seorang pelari cilik terhandal di seluruh kota. Ia menjadi pelari handal karena setiap hari, Liliana menyempatkan diri untuk berjalan kaki sejenak menuju taman kota yang sangat indah dan sejuk.

Sementara itu, sang topi menghilang karena tugasnya sudah selesai. Tugas topi itu adalah untuk mempersatukan lagi apa yang telah hilang, seperti kisah Liliana ini. Hari itu adalah hari yang paling hebat dan gembira bagi Liliana.

THE END

Cerpen Karangan: Cornelia Krisna Wijaya

Life Like Coffee

Tak ada yang spesial dari cafe berkonsep vintage di ujung jalan yang sibuk itu. Hanya sebuah bangunan kecil yang dindingnya dibiarkan tidak dicat dan tak pernah sepi pengunjung. Lalu apa yang menarik? Secara fisik, cafe itu biasa saja. Tapi bagi gadis yang tengah menyesap secangkir kopi di hadapannya ini, Grandma’s Kettle Cafe ini menyimpan hal yang spesial.

Flashback, 7 bulan lalu..
Charlotte, gadis yang kini tengah melirik jam tangannya, duduk sambil menikmati secangkir kopi yang tak biasanya ia minum. Menu favoritnya adalah cappucino. Tapi untuk kali ini, ia memesan americano latte. Sesuai permintaan lelaki yang baru saja mengirim pesan ke ponselnya. “Aku ingin pertemuan kita kali ini terkesan beda. Jadi pesan kopi yang beda juga ya..” itu isi pesan yang diterimanya kurang dari 5 menit yang lalu.

KRINGG~ bel di dekat pintu masuk berbunyi. Tandanya ada yang masuk ke cafe itu. Charlotte berbalik dengan bahagia. Tapi rasa bahagia itu runtuh. Pudar ketika melihat Andy, kekasihnya memasuki cafe itu bersama seorang gadis yang tengah menggamit mesra lengan Andy. Ah, mungkin itu sepupunya, pikir Charlotte. Pasangan itu semakin dekat hingga akhirnya berhenti di depan Charlotte.
“Char, ini Devy.” ucap Andy memperkenalkan Devy. Kedua gadis itu tersenyum ramah. “Dia calon tunanganku. Tunangan bisnis ayahku..” jelas Andy tertunduk.

DEG. Apa? Charlotte tidak salah dengar? Tunangan?

“Dy, buat apa suruh aku pesen kopi yang beda kalo gitu?” Charlotte setengah berkaca-kaca. Air mata di pelupuknya sudah banjir. Ingin meluap keluar.
“Char, aku gak pengen cappucino yang selama ini punya kesan baik buat kamu, jadi berkesan buruk gara-gara hari ini.. sorry ya Char..” kata Andy tertunduk.
“Oh gitu ya.. langgeng ya kalian..” Charlotte tersenyum meski sebutir air mata lolos menuruni lekuk wajahnya. Suara petir tiba-tiba terdengar. Langit seperti ikut merasakan apa yang Charlotte rasakan. Petir bagaikan teriakan kepedihan hati Chatlotte. Hujan yang kemudian membasahi langit malam itu mewakilkan air mata Charlotte yang tak bisa mengalir. Andy masih tertunduk. Entah menyesal, atau bingung.
“Pertunangannya malem ini. Aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa Charlotte..” kata Andy kemudian berlari keluar cafe bersama Devy. Charlotte tertunduk. Mengutuk senyum yang ia sunggingkan tadi. Cappucino terkutuk. Americano latte terkutuk. Menu di cafe ini terkutuk!

“Permisi mba, masih lama gak urusannya? Cafe kita udah mau tutup..” kata pelayan di cafe itu. Charlotte tak berkutik. Tetap di tempatnya. Di posisinya.
“Mas, americano latte di sini terkutuk ya?” pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Charlotte membuat pelayan itu terbelalak.
“Maksudnya?” tanya pelayan itu.
“Sebelumnya, waktu saya pesen cappucino, hubungan saya baik-baik aja. Sekarang? Waktu saya pesen americano latte, pacar saya nemuin saya bareng tunangannya. Ada apa sih?” tanya Charlotte menatap pelayan itu.
“Namaku Daniel. Maaf kalo kesannya nyampurin urusan.. euhh..” Daniel menggantungkan kalimatnya. Meminta Charlotte menyebutkan namanya.
“Aku Charlotte. Panggil aja Charlie..” ucap Charlotte acuh tak acuh.
“Charlie, coba kamu minum americano latte ini.. langsung tanpa diaduk, apa rasanya?” pinta Daniel pada Charlotte. Charlotte menyesap cairan dalam cangkir kopi itu. Ia mengernyit.
“Pahit..” kata Charlotte singkat.
“Nah sekarang aduk, terus minum lagi..” Daniel tersenyum senang setelah Charlotte melakukannya sekali lagi.
“Manis.. jauh lebih manis..” kata Charlotte tersenyum kecil.
“Nah.. begitulah cinta. Sama kaya americano latte. Cinta itu ada masa-masanya hangat dan manis kaya kopi baru dibuat. Ada juga masa-masa pahit dan dinginnya kaya kopi yang dibiarin agak lama. Bukan kutukan kok, tapi itulah hidup..” jelas Daniel tersenyum senang. Charlotte tersenyum. Ia sadar satu hal. Daniel membukakan matanya. Menyingkirkan setiap pemikiran negatif yang memenuhi benaknya.
“Iya.. kamu bener juga, Daniel.. makasih banyak.. kalau udah beres, temuin aku di luar cafe ya..” kata Charlotte kemudian menenggak habis americano lattenya, meraih tas kulit putihnya lalu keluar dari cafe. Daniel melanjutkan aktifitas bersih-bersihnya.

Setelah selesai, mereka bertemu di depan cafe. Bertukar nomor ponsel dan terus bertambah dekat. Seiring waktu berjalan, mereka semakin dekat dan dekat.

Flashback off

KRINGG~ bel kecil di depan pintu cafe itu berbunyi. Seorang lelaki berkemeja biru muda dengan celana jeans panjang, nampak masuk ke cafe. Melempar senyum pada gadis yang menyambutnya dengan senyum.
“Udah lama nunggu, Charlie?” tanya Daniel duduk di seberang Charlotte.
“Belum sih.. baru 15 menit..” jawab Charlotte tersenyum, menyesap minuman dalam cangkir di depannya.
“Cie pesen cappucino.. berusaha memperbaiki memori ya?” canda Daniel.
“Ahaha.. gak juga. Filosofi soal hidup kaya kopi itu boleh juga, manager..” kata Charlotte tersenyum.
“Kamu yang bakal jadi bu managernya, Charlie..” kata Daniel menatap Charlotte dengan tatapan teduh. “Mau kan? Jadi bu manager bareng aku? Kita kelola Grandma’s Kettle Cafe bareng-bareng..” kata Daniel menggenggam tangan Charlotte. Membuat gadis berambut panjang itu tersenyum dan mengangguk. “Hidup ini memang kaya kopi. 7 bulan lalu, hidup kamu kaya espresso. Pahit, gelap, bikin gak bisa tidur. Tapi-” kata-kata Daniel terhenti ketika Charlotte tersenyum dan meletakkan telunjuknya yang lentik di depan bibir Daniel.
“Tapi sekarang kamu bikin hidupku semanis cappucino dan selengkap americano latte. Semuanya bercampur jadi satu dan saling melengkapi. Love you Daniel.. ” kata Charlotte balas menatap Daniel.
“Filosofi yang bagus.. hahaha.. love you too Charlie..” kata Daniel tersenyum.

“Hidup itu seperti kopi. Ada masanya saat itu terasa manis semanis cappucino. Ada masanya juga terasa pahit sepahit espresso. Membuat kita serba gelisah seperti caffein. Tapi ingatlah bahwa di dunia ini masih ada hal yang disebut cinta. Ada untuk melengkapi semuanya. Seperti menambahkan creamy foam di atas cappucino dan menambahkan gula pada espresso.” – Daniel & Charlotte, manager Grandma’s Kettle Cafe.

Cerpen Karangan: Vern Verena

Bersauh

“Jadi, apa pedulimu dengan tempat ini, Nak?” tangannya gemetar memegang pagar besi setinggi perut di depannya. Matanya layu. Kutebak mata itu sebentar itu akan menutup. Tetapi, jelas terlihat nasionalisme, patriotisme, bahkan sedikit chauvinisme di sana. Kulitnya keriput di sana-sini. Bahkan retak, secara harfiah. “Ditempa zaman, Nak. Orang-orang berkulit sepertiku lah yang sejatinya memiliki kecintaan paling besar kepada negeri.” Itu kata dia saat aku bertanya tentang kulitnya –yang retak– lima tahun yang lalu. Ketika aku baru menapakkan kaki di tanah ini. Tanah tanpa harapan.

Titik-titik air mulai turun. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes mulai membahasi tanganku. Lengket.

“Janganlah kau terlalu sering terkena air hujan itu, Nak.” Kakek tua itu menunjuk kulit tangannya yang retak.

Oh, jadi itulah yang membuat kulitnya retak.

“Sesekali tak apa lah, Kek. Aku suka hujan.” aku membalas sambil melihat ke langit yang mendung. Menengadahkan tangan untuk merasakan rezeki dari Tuhan. Walaupun sudah dirusak.

“Kandungan sulfur di dalamnya sudah berlebihan. Kau tahu, aku hanya butuh terkena hujan ini sebanyak delapan kali untuk mendapatkan retakan ini.” Si Kakek kembali menunjukkan retakan di tangannya.

“Dulu tanganku tak kasar. Halus. Berotot. Maskulin. Aku dulu seorang…”

“Penjelajah. Ini kedelapan kalinya kau bercerita seperti itu, Kek.” aku tertawa.

“Kau menghitung?” Kakek itu ikut tertawa.

“Semua perkataan Kakek yang diulang, aku hitung.”

“Kek, kenapa namamu Dasa? Kau sudah menceritakan semua hal kecuali hal ini. Apakah namanya terlalu keren untuk diceritakan?” aku menepuk pundaknya. Bercanda.

“Dasar, anak muda sekarang punya kadar sarkasme yang sangat tinggi. Namaku berubah-ubah setiap satu dasawarsa, Nak. Dulu, ketika umurku menjelang tujuh puluh tahun, namaku Sapta. Ketika umurku beranjak ke delapan puluh tahun, namaku okta. Ketika umurku menjelang sembilan puluh tahun, namaku Nona. Aku sering dihina pada sepuluh tahun itu. Jelas, namaku seperti nama seorang wanita yang sangat feminim. Tapi, itu prinsipku. Namaku berubah-ubah untuk mengingat umur, Nak. Selama apa pun kau berpijak di tanah, pada akhirnya kau akan menyatu dengannya. Sekarang, umurku sudah sembilan puluh sembilan tahun. Oleh karena itu namaku Dasa. Artinya sepuluh. Dan besok aku berulang tahun yang keseratus! Entah nama apa yang aku pakai untuk besok lusa di usiaku yang sudah lebih dari seratus.” Dasa kembali tertawa.

“I’m ninety nine for a momment. Dying for just another momment and I’m… ah aku lupa lanjutan lagunya. Dulu itu lagu kesukaanku. Five for Fighting, 100 Years. Selalu mengingatkanku pada umur. Tubuhku sudah rusak, Nak. Bahkan, aku bisa berkata bahwa seluruh organ tubuhku sudah memilki penyakit. Tak terhitung berapa kali aku harus, seharusnya, minum obat dalam satu hari. Tapi, aku sadar, boy, pada akhirnya kita akan mati, bukan? Untuk apa obat-obat itu?”

“Hei, Nak. Kau tahu cita-citaku? Mati pada umurku yang keseratus. Berarti itu besok! Tapi, entahlah. Dengan kondisi tubuhku yang sepertinya masih kuat menopang segala jenis penyakit. Kupikir, aku akan mati di umurku yang keseratus lima. Maksimal keseratus tujuh.”

Dasa terkenal suka bercerita kemana-mana kalau sudah ditanya soal hidupnya. Entahlah, mungkin sudah terlalu banyak pengalaman dan cita-cita yang ditimbun, membengkak dalam otaknya. Jadi, mungkin dia harus membagikan pengalaman dan cita-cita itu kepada orang lain sebelum mereka meledakkan otaknya sendiri.

“Berarti kau lahir ketika Krisis Moneter melanda Indonesia. Krisis ekonomi untuk pertama kalinya ya, Kek?”

“Ah! Iya, iya! Krisis Moneter! Itu bukan krisis ekonomi pertama untuk Indonesia, Nak. Krisis ekonomi pertama terjadi ketika awal Indonesia merdeka. Ketika yang peduli pada bangsa masih bisa ditemukan di seluruh pojok negeri. Krisis ekonomi itu terjadi karena Indonesia tidak bisa membuat dua fokus antara kesejahteraan ekonomi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”

Ah, aku lupa. Dasa bahkan akan semakin berisik kalau sudah berbicara tentang negara ini.

“Negara ini mulai korup, mulai rusak, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Nak. Dulu nama-nama seperti Gayus Tambunan, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Andi Mallarangeng, Si Menteri Pemuda danOlahraga, bahkan Akil Mochtar, seorang Ketua MK! Proyek-proyek seperti pusat olahraga Hambalang, wisma atlet SEA Games ke-26, lalu peng-import-an daging sapi, bahkan kitab suci dijadikan celah untuk korupsi! Dari situlah, Nak, dari para penjahat-penjahat itulah, muncul benih-benih baru yang mematikan. Muhammad Nur Zulfiqar, Presiden ke-9 kita. ‘Si Pembunuh’. Kukira tidak ada yang bisa lebih korup daripada dia, Nak. Lima puluh persen, bayangkan! Lima puluh persen dana APBN raib olehnya!”

Aku hanya mendengarkan ceramah Dasa dengan khidmat. Hujan turun makin deras. Badanku terasa semakin lengket.

“Ardi. Namamu Ardi, bukan? Kau tahu, Ardi, kukira negara ini sudah tidak bisa lebih hancur setelah kasus ‘Si Pembunuh’ itu, Nak. Ternyata, setelah puluhan tahun merantau kesana sini, setelah tanah kelahiranku dibeli untuk dijadikan pabrik-pabrik besar, yang menyebabkan hujan mematikan ini, aku sadar bahwa inti permasalahan ini bukanlah para penguasa-penguasa korup itu. Inti hancurnya negara ini karena sudah terlalu banyak orang yang apatis, Nak. Orang-orang inilah yang membawa

Muka Dasa merah padam. Murka dengan orang-orang yang disebutkan dalam ceramahnya. Termasuk kepada semua orang yang apatis terhadap nasib bangsa. Ini pertama kalinya aku melihat Dasa sangat bergejolak ketika berbicara tentang negeri ini.

Entah kenapa, aku jadi sedikit khawatir dengan kesehatannya.

“Globalisasi membawa degradasi moralitas kepada Indonesia. Beginilah jadinya negeri ini. Seluruh aspek kehidupan mengalami keruntuhan. Jaminan kesehatan untuk rakyat tidak mampu dicuri, lahan kosong, sawah, kebun, hutan, bahkan pedesaan di pelosok dijadikan tempat bisnis bagi orang-orang korup, orang-orang serakah. Karena itulah bencana kelaparan melanda negeri ini, khususnya bagi orang-orang yang tidak bisa membeli makanan. Seluruh aspek kehidupan bagi orang-orang miskin tak bisa dipenuhi.”

Tiba-tiba Dasa berhenti berbicara.

“TAPI KENAPA JADI KITA YANG DISALAHKAN?! Kitalah yang sekarang dipenjara dalam kota ini! Kota yang didesain pemerintah untuk menampung orang-orang tak mampu, berpenyakit, kumuh, miskin, ‘tak layak hidup’! Sejak Muhammad Nur Zulfiqar diturunkan, bencana penyakit terbesar dalam sejarah Indonesia menyerang. Apakah kau sudah lahir waktu itu, Nak? SARS, HIV, flu burung, semua penyakit yang sudah pernah menjadi bencana untuk negeri ini kembali menyerang dalam jumlah yang tidak terkira. Bersamaan pula! Orang-orang miskin yang tak memiliki uang untuk melakukan pengobatan, digiring menuju sebuah kota, bahkan bisa kubilang negara kecil yang dikelilingi tembok tinggi – yang membutuhkan dana triliunan rupiah, melewati empat masa jabatan presiden, dibuat untuk mencegah penyakit yang kita bawa tidak menyebar kemana-mana. Aku sangat ingat hari itu, Nak.”

“Aku bersama jutaan orang lainnya digiring seperti hewan ternak ke dalam sini. Anak kecil, remaja sepertimu, orang-orang paruh baya, hingga orang yang sudah tidak kuat untuk mengangkat kakinya, kalau sudah terjangkit penyakit dan tak bisa bayar pengobatan, digiring ke sini. Ini namanya genosida untuk orang-orang tak mampu! Aku masih ingat kata-kata Almira Maulana, Presiden kesepuluh kita, Si Lugu, Si Bodoh. ‘Mereka sudah tidak memiliki harapan. Kami berusaha melakukan tindakan yang paling benar.’ katanya. Negeri ini lah yang tidak memiliki harapan!”

“Mungkin kalau ada novel berjudul Indonesia Aftermath yang menceritakan kondisi Indonesia sekarang, di titik klimaks kehancurannya, novel itu akan menjadi novel ber-genre distopia terbaik di dunia, bahkan melangkahi Brave New World karangan Aldous Huxley.”

“Aku tidak tahu pengetahuanmu begitu luas, Kek.” aku menepuk pelipis, kagum.

“Kau pasti tidak percaya kalau aku dulu tidak lulus SD. Pengalaman adalah guru terbaik, Nak. Aku sudah pernah mengunjungi seluruh sudut negeri ini. Bahkan, tanah tak terjamah di kawasan Papua pun sudah aku taklukan, Ardi.” sekarang Dasa yang menepuk pundakku.

Tiba-tiba muka Dasa terlihat sangat berat, matanya berkaca-kaca. Dasa memang orang yang emosional. Namun, lima tahun aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya seemosional ini.

“Kalau saja dahulu banyak anak muda sepertimu. Peduli dengan bangsa, bukan begitu?” Dasa menatapku dengan penuh harap agar aku menjawab seperti apa yang dia inginkan.

“Kalau aku tidak cinta pada negeri ini, aku tidak mungkin bersauh ke dalam tembok tinggi ini.” aku berusaha menjawab dengan apa yang sepertinya Dasa harapkan. Namun, tidak pula terlepas dengan fakta.

“Kau seorang novelis sukses di luar sana, bukan?”

“Jurnalis, Kek. Bukan novelis.” Aku tertawa.

“Ah! Pemburu berita! Sangat banyak berita yang bisa kau buru di dalam tembok ini, Nak. Bukan berita bahagia tentunya.” Dasa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kembali tertawa. Namun, aku melihat air keluar dari matanya. Dasa cepat-cepat mengusapnya.

“Kau sudah pernah berkata seperti itu ketika kita pertama kali bertemu, Kek.” Aku ikut tertawa kembali.

“Sama seperti Kakek, aku juga sudah muak dengan semua hal di luar tembok ini. Ketika orang-orang di luar sana menganggap bahwa di dalam tembok ini lah yang mereka sebut dengan distopia, justru menurutku, di luar sanalah yang seharusnya disebut distopia. Negeri yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Lima tahun ada di dalam sini, kabur dari kehidupan mewah di luar sana, aku tidak pernah melihat satu pun kejahatan di sini. Mungkin satu, ketika Si Jabrig mencoba mencuri sendal jepitku.”

Kita berdua kembali tertawa. Sangat menyenangkan ketika melihat Dasa tertawa.

“Aku justru menemukan kedamaian di dalam tembok ini, Kek.”

“Walaupun kumuh dan bau?”

“Walaupun kumuh dan bau. Itu jawaban untuk pertanyaan kakek di awal pembicaraan.”

“Kau naif, Nak. Di sini tidak ada kejahatan karena taraf kehidupan semua orang sama saja! Siapa yang mau mencuri barang orang yang sama miskinnya dengan dia?” tawa Dasa makin keras.

Tiba-tiba dia memberikan senyuman, bukan senyuman biasa, senyuman penuh harapan kepadaku.

“Ardi, orang-orang sepertimu adalah orang-orang yang diharapakan bangsa. Orang-orang yang diharapkan dapat membawa kembali ‘kedamaian’ yang kau bicarakan tadi ke seluruh pelosok negeri.”

“Mengubah distopia ini menjadi utopia.” Mata layunya berbinar, tangannya menggenggam erat tanganku, walaupun gemetaran.

Bruk.

“Kakek!”

Keesokan harinya, tanggal 1 Januari 2098, tepat ketika umurnya seratus tahun, Dasa meninggal karena kompilasi penyakit yang dideritanya. Mimpinya tercapai. Meninggal tepat di umurnya yang keseratus. Namun, rasa cintanya terhadap negeri ini abadi. Mekar bersama dengan rasa cinta jutaan orang lain yang masih memegang harapan kepada negara ini.

Di dalam sebuah distopia, pahlawan bukanlah seseorang yang mengangakat senjata melawan penjajah. Bukan seseorang yang mendapat jabatan; bintang satu, dua, tiga, empat, lima, atau bintang apa pun itu. Bukan pula orang-orang yang berteriak di depan orang banyak, berbicara tentang moral.

Di dalam sebuah distopia, pahlawan adalah seseorang yang masih peduli untuk berbagi. Walaupun hanya sekedar berbagi pengalaman

Cerpen Karangan: Finlan Adhitya Aldan